Oleh : Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Ali Syaikh –hafizhahullah-
Menteri Agama Kerajaan Arab Saudi
Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Pengantar Penerjemah
Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman dimana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal semacam ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh sangat jauh dari model hidup seperti itu. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan karena Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…”[1]
Kita sama-sama mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allah, sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allah, saling tolong-menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.
Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
﴿فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا﴾
“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya.” [2] (Ali ‘Imran: 103)
Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allah semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum mukminin yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allah: بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58)[3]
‘Abdah bin Abi Lubabah berkata: “Aku bertemu dengan Mujahid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata: ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan: “Aku pun berkata: ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)
Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku”[4]
Landasan seorang muslim tatkala bermu’amalah dengan saudaranya
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya segala (kebaikan) yang dia sukai bagi dirinya sendiri”[5]
Keinginan agar saudara kita juga mendapatkan apa yang kita sukai bagi diri kita merupakan suatu kewajiban setiap orang yang beriman. Hukumnya bukan hanya sekedar mustahab (sunnah), sebagaimana persangkaan sebagian orang. Barangsiapa yang dalam hatinya tidak terdapat perasaan demikian maka dia telah berdosa. Hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[6]
Tidaklah Allah dan Rasul-Nya menafikan sesuatu perkara yang diperintahkan, kecuali karena ditinggalkannya sebagian kewajiban dalam perkara tersebut. Tentang shalat misalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang menahan dua hadats (buang air dan buang angin).”
Beliau juga bersabda:
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah.”
Tatkala melihat orang yang rusak shalatnya karena tergesa-gesa, tidak thuma’-ninah (tenang), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Kembalilah shalat karena sesungguhnya engkau belum shalat.”
Ini menunjukkan bahwa hukum tidak menahan buang air ketika shalat adalah wajib. Begitu juga dengan hukum membaca al-Fatihah dan thuma’-nihah dalam shalat.
Kembali ke masalah keimanan, dengan menganalogikan contoh-contoh di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa jika meninggalkan suatu perbuatan menyebabkan iman ternafikan, maka perbuatan tersebut hukumnya adalah wajib.
Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah beriman orang yang tidak amanah”
Begitu juga sabda beliau :
”Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga akulah yang lebih dia cintai dari pada orang tuanya, dari pada anaknya, dan dari seluruh manusia.”
Serta sabda beliau:
“Tidaklah beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjaga amanah, mendahulukan kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas manusia yang lain, dan tidak mengganggu tetangga hukumnya adalah wajib.
Di dalam nash-nash syar’i, iman dan shalat tidak mungkin dinafikan jika yang ditinggalkan adalah perkara yang sunnah. Maka tidaklah kita katakan pada orang yang shalat dengan tidak membaca do’a iftitah, “Tidak ada shalat untukmu.” Sebab, do’a iftitah hukumnya adalah sunnah. Sekiranya kita boleh menafikan iman dikarenakan ada perkara mustahab yang ditinggalkan, maka tentulah kita boleh berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Sebab, tidak ada yang melakukan seluruh perkara mustahab secara sempurna kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasti ada sebagian perkara mustahab yang ditinggalkan oleh Abu Bakr. Namun, tentunya tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah berkata, “Abu Bakr tidak beriman.” Ini merupakan perkataan yang jelas-jelas batil.
Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang tidak menginginkan untuk saudaranya seiman apa yang dia sukai bagi dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang diwajibkan Allah kepadanya. Tatkala Allah menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah ini terjadi melainkan karena adanya kekurangan pada keimanan yang wajib, sehingga pelakunya termasuk orang-orang yang terkena ancaman Allah dan bukan termasuk orang-orang yang berhak memperoleh janji baik dari Allah.”[7]
Ibnu Rajab berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan balasan surga bagi sifat ini (sifat menyukai bagi saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya).”[8]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barang siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga maka hendaklah ketika ajal menemuinya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia memberi orang lain apa yang dia suka untuk diberikan kepadanya.”[9]
Lafazh (ما) dalam kalimat hadits ini: (مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) adalah isim maushul. Dalam kaidah ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa isim maushul memberikan makna yang umum (universal).
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: “Hadits di atas mencakup ”aqidah, perkataan dan perbuatan, yaitu mencakup seluruh bentuk amal shalih, baik keyakinan, perkataan, maupun perbuatan…. Hendaknya seorang mukmin menginginkan agar saudaranya memiliki ‘aqidah yang benar seperti ‘aqidah yang ia yakini. Sikap seperti ini hukumnya wajib. Hendaknya ia juga menginginkan agar saudaranya shalat sebagaimana ia shalat. Sekiranya ia senang jika saudaranya tidak berada di atas petunjuk yang benar, maka ia telah berdosa, dan telah hilang darinya keimanan sempurna yang wajib. Jika ia senang bila ada saudaranya yang berada di atas ‘aqidah yang batil dan tidak sesuai dengan sunnah, yaitu ‘aqidah bid’ah, maka telah ternafikan darinya kesempurnaan iman yang wajib. Demikian pula halnya dengan seluruh peribadatan dan seluruh jenis-jenis sikap menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Jika ia senang bila dirinya terbebas dari praktek suap, tetapi ia senang jika ada saudaranya yang terjatuh dalam praktek suap, hingga dia merasa unggul –lebih shalih dari saudaranya tersebut-, maka telah ternafikan kesempurnaan iman yang wajib dari dirinya (dia telah berdosa).”[10]
Ibnu Rajab berkata: “Hadits Anas yang sedang kita bicarakan ini menunjukkan bahwa wajib bagi seorang mukmin untuk bergembira jika ada saudaranya yang seiman gembira. Hendaknya ia menginginkan agar saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia juga menginginkan kebaikan. Semua ini tidak bisa terwujud kecuali dari hati yang bersih dari sifat dendam, hasad (dengki), dan curang. Sesungguhnya sifat hasad menjadikan pemiliknya benci jika ada orang lain yang mengunggulinya atau menyamainya dalam kebaikan. Sebab, ia ingin menjadi spesial dan istimewa di tengah-tengah manusia dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Tetapi konsekuensi dari iman adalah sebaliknya, yaitu ia ingin agar seluruh kaum mukminin menyamainya dalam kebaikan yang Allah berikan kepadanya, tanpa mengurangi kebaikan dirinya sedikit pun.”[11]
Bahkan derajat yang lebih tinggi dari ini –meskipun tidak wajib-[12] yaitu seorang mukmin ingin agar kaum mukminin yang lain melebihi dia dalam kebaikan.
Berkata al-Fudhail: “Jika engkau ingin manusia seperti engkau, maka engkau belum menunaikan nasehat pada Rabbmu.…”
Karena itu seorang mukmin hendaknya selalu memandang dirinya penuh dengan kekurangan, sehingga ia selalu berusaha untuk meraih keutamaan dan kebaikan untuk memperbaiki dirinya. Hal ini akan menimbulkan dalam hatinya agar kaum mukminin lebih baik dari dirinya. Ia tidak rela jika kaum mukminin seperti dirinya yang penuh kekurangan.
Muhammad bin Wasi’ pernah berkata kepada putranya:
أَمَّا أَبُوْكَ فَلاَ كَثَّرَ اللهُ فِي الْمُسْلِمِيْنَ مِثْلَهُ
“Adapun ayahmu, maka semoga Allah tidak memperbanyak yang semisalnya di tengah kaum muslimin.”[13]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan bahwa sifat ini terkadang sangat sulit dipraktekkan, yaitu engkau menghendaki bagi saudaramu apa yang kau inginkan bagi dirimu. Engkau menghendaki saudaramu menjadi seorang ‘alim, kaya, memiliki harta dan anak-anak, serta menjadi orang yang istiqamah. Bukankah hal ini sulit dipraktekkan? Maka jawabnya, hal ini tidaklah sulit jika engkau melatih dan membiasakan diri. Latihlah dan biasakan dirimu, niscaya kelak akan ringan rasanya. Namun, jika engkau menuruti hawa nafsumu maka hal ini benar-benar akan sangat sulit untuk dilakukan.”[14]
Faidah lain dari hadits ini adalah penjelasan tentang makna akhlak yang mulia. Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin al-‘Abbad –hafizhahumallah- pernah berkata: “Banyak pendapat dalam menjelaskan definisi akhlak mulia. Namun definisi terbaik dari akhlak mulia adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia memberi kepada orang lain apa yang ia suka untuk diberikan padanya.”[15]
Praktek dari hadits ini, jika engkau ingin bermu’amalah dengan kedua orangtuamu maka bayangkanlah bahwa engkau adalah orangtua. Anggaplah engkau adalah seorang ibu, apa yang kau kehendaki dari anakmu untuk bermu’amalah kepadamu (maka seperti itulah yang kau lakukan terhadap ibumu). Qiyaskanlah hal ini tatkala engkau ingin bermu’amalah dengan tetangga dan sahabatmu. Jika ada sahabatmu yang bersalah kepadamu maka apa sikapmu kepadanya? Bayangkan seandainya engkau adalah sahabatmu yang bersalah itu, maka apakah yang kau harapkan? Tentunya engkau mengharapkan untuk dimaafkan. Jika demikian maka maafkanlah sahabatmu itu.”[16]
Demikianlah, sangat penting bagi kita untuk selalu mengingat faidah hadits ini, tatkala bergaul dan bermu’amalah dengan siapa pun, terutama tatkala bermu’amalah dengan saudara seiman.
Apakah makna ukhuwwah yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jika dua orang berjalan di sebuah jalan yang lebar dan aman, maka keduanya bisa berjalan bersama dengan tentram. Masing-masing saling bergandengan tangan karena rasa cinta yang ada diantara mereka. Namun lihatlah, ternyata jalan yang ditempuh semakin sempit dan akhirnya tidak cukup kecuali untuk salah seorang saja diantara keduanya? Salah seorang dari mereka bergumam, “Manakah yang aku dahulukan? Diriku ataukah saudaraku?”
Lalu lihatlah, ternyata jalannya semakin bertambah sempit, sehingga tidak mungkin dilalui kecuali untuk satu orang saja. Ia pun bergumam kembali, “Ini adalah kesempatan emas. Hanya sekali. Kalau bukan untuk diriku tentulah untuk saudaraku. Maka siapakah yang aku dahulukan? Apakah aku ambil kesempatan ini dan membiarkan saudaraku mencari jalan lain, ataukah aku berikan kesempatan ini kepadanya dan aku berusaha lagi?” Kondisi seperti inilah yang menjadi ajang pembuktian persahabatan sejati.
Sungguh, persahabatan dalam kondisi aman dan tentram sama sekali tidak berat dan tidak bertentangan dengan keinginan-keinginan hati. Bahkan ukhuwwah dalam kondisi ini merupakan perkara yang diinginkan oleh hati, dimana setiap orang berusaha untuk mewujudkannya dalam rangka meraih ketenangan jiwa. Namun pada saat kondisi genting atau ingin mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, maka saat itulah teruji ukhuwwah yang sejati. Ujian inilah yang membedakan antara sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan egoisme, yang kadang tersembunyi dalam diri pemiliknya ketika dalam kondisi aman dan tentram, sampai-sampai ia menyangka bahwa ia adalah sahabat sejati yang merealisasikan segala konsekuensi ukhuwwah. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.[17]
Kisah Muhajirin dan Anshar
Allah telah memuji keimanan dan sikap itsar antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Allah berfirman:
وَالّذيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قِبْلِهِمِ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمِ وَلاَيَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمِ وَلَوْ كَانَ بِهِمِ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئك هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (yaitu kaum Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (yaitu kaum Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka, dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin) dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka membutuhkan (apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsiir-nya: “Mereka (kaum Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka”, disebabkan kemurahan dan kemuliaan kaum Anshar, sehingga mereka mencintai kaum Muhajirin dan menolong mereka dengan harta mereka. “…dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum Muhajirin)”, yaitu mereka tidak menemukan dalam hati mereka rasa dengki terhadap kaum Muhajirin yang telah dimuliakan oleh Allah dengan kedudukan dan kemuliaan, serta didahulukannya mereka dalam penyebutan dan kedudukan”
Kecintaan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin bukanlah karena kaum Muhajirin telah berjasa pada kaum Anshar atau telah menolong kaum Anshar sebelumnya. Sama sekali bukan. Keimanan mereka kepada Allah-lah yang menyebabkan hal itu. Kecintaan karena Allah-lah yang telah menyatukan antara kaum Muhajirin dan Anshar.[18]
Anas bin Malik bertutur: “’Abdurrahman bin ‘Auf datang (ke kota Madinah), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat tali persaudaraan antara dia dan Sa’ad bin ar-Rabi’ al-Anshori. Sa’ad menawarkan kepada ‘Abdurrahman separuh hartanya berikut istrinya. Maka ‘Aburrahman berkata: “Semoga Allah memberi berkah pada keluargamu dan hartamu.”[19]
Dari Ibrahim –yaitu Ibnu Sa’ad bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf-, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Tatkala kaum Muhajirin datang ke Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat tali persaudaraan antara ‘Abdurrahman dan Sa’ad bin ar-Rabi’. Sa’ad bin ar-Rabi’ berkata kepada ‘Abdurrahman: ‘Saya adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan kaum Anshar, maka ambillah separuh hartaku. Saya juga memiliki dua orang istri, maka lihatlah diantara keduanya mana yang lebih kau senangi, lalu sebutlah namanya, sehingga saya menceraikannya.[20] Jika telah selesai masa ‘iddah-nya, nikahilah dia.’ ‘Abdurrahman berkata: ‘Semoga Allah memberikan berkah kepadamu, juga kepada keluarga dan hartamu. Dimanakah pasar kalian?`[21] Mereka pun menunjukinya pasarnya Bani Qainuqa’. Tidaklah ‘Abdurrahman kembali dari pasar, melainkan sambil membawa susu yang dikeringkan dan lemak (mentega). Keesokan harinya, ia pun ke pasar lagi. Begitulah yang terjadi setiap hari. Suatu ketika ia datang dan pada dirinya ada bekas (minyak wangi yang) berwarna kuning . Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: ‘Bagaimana kabarmu? ‘Abdurrahman menjawab: ‘Saya sudah menikah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi: ‘Berapa yang kau berikan padanya (sebagai mahar)?’ Ia menjawab: ‘Lima dirham.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Buatlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.`”[22]
Seorang pria pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi pun mengutus seseorang kepada istri-istri beliau untuk bertanya tentang kondisi mereka. Kata istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali air.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada para Sahabat: “Siapakah yang siap menjamu orang ini?”
“Saya,” jawab salah seorang dari kaum Anshar.
Maka pergilah ia bersama laki-laki tersebut ke kediamannya. Sesampainya disana, ia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.”
“Kita tidak memiliki apa-apa kecuali makanan untuk anak-anak kita,” jawab istrinya.
“Persiapkanlah makananmu itu -yaitu yang disiapkan untuk anak-anak-, lalu nyalakanlah lampu dan tidurkanlah anak-anak kita jika mereka hendak makan malam.”
Istrinya pun mempersiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Setelah itu ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampu, lalu ia matikan lampu tersebut. Dalam keadaan gelap gulita, keduanya memberikan makanan kepada si tamu, lalu suami istri tersebut juga pura-pura makan. Lalu keduanya tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya sahabat tadi pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berkatalah Rasulullah: “Allah tertawa tadi malam –atau- Allah takjub karena sikap kalian.” Lalu turunlah firman Allah:
“Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka butuh (terhadap apa yang yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung” (al-Hasyr: 9)[23]
Kisah Syuhada’ perang Yarmuk
Ibnul ‘Arabi berkata: “Seusai perang Yarmuk, didapati ‘Ikrimah bin Abi Jahl, Suhail bin ‘Amr, al-Harits bin Hisyam, dan sekelompok orang dari Bani al-Mughirah sedang dalam keadaan sekarat. Dibawakan air bagi mereka namun mereka semua saling mengoper air tersebut hingga semuannya wafat dalam keadaan tidak minum air tersebut. Ketika ‘Ikrimah dibawakan, ia melihat bahwa Suhail bin ‘Amr sedang memandangnya, maka ia berkata: “Berilah air kepadanya terlebih dahulu.” Tetapi kemudian Suhail melihat al-Harits bin Hisyam sedang memandangnya, maka ia berkata: “Berilah air kepadanya terlebih dahulu.” Mereka semua akhirnya wafat sebelum meminum air tersebut.”[24]
Wahai saudaraku… benarlah perkataan Ibnul Jauzi jika kita bandingkan antara persahabatan sejati di kalangan para sahabat dan Salafus Shalih dengan persahabatan yang ada diantara kita.
Ibnul Jauzi berkata: “Di zaman ini nilai-nilai dan hikmah dari persaudaraan (ukhuwwah) telah hilang. Yang tersisa hanyalah kisah-kisah dari Salafus Shalih. Karena itu, jika engkau mendengar tentang persaudaraan yang sejati (dizaman ini) maka jangan kau benarkan.”[25]
Seorang penyair berkata:
سَمِعْنَا بِالصَّدِيْقِ وَلاَ نَرَاهُ عَلَى التَّحْقِيْقِ يُوْجَدُ فِيْ الأَنَامِ
وَأَحْسَبُهُ مُحَالاً جَوَّزُوْهُ عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ مِنَ الْكَلاَمِ
Kami dengar tentang sahabat sejati tapi kami tidak melihatnya
terwujudkan secara nyata di antara manusia.
Kusangka itu adalah suatu kemustahilan yang mereka sampaikan
sekedar hanya dalam bentuk kiasan
Ibnu ‘Aun berkata: Dari ‘Umair bin Ishaq, ia berkata:
كنا نتحدث أن أول ما يرفع من الناس الألفة
“Kami merasa bahwa yang pertama kali diangkat dari manusia adalah persahabatan.”[26]
bersambung…
Yogyakarta, 15 Agustus 2005
Artikel: www.firanda.com
Catatan Kaki:
[1] HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)
[2] Wahai saudaraku, coba kita renungkan kembali, siapa kita pada tahun-tahun yang silam. Tatkala kita belum mengenal namanya “ngaji”. Saat itu kita masih berpesta di atas dosa, tersesat dalam belantara maksiat dan terombang ambing di lautan bid’ah. Alhamdulillah, Allah kemudian menyelamatkan kita, sehingga kita berkumpul dan bersaudara di atas tujuan yang satu, yaitu beribadah kepada-Nya semata. Ini merupakan karunia yang tiada tara. Maka apakah layak jika kemudian kita saling menggunjing, saling menjatuhkan, saling memutuskan hubungan, saling hajr, hanya karena perkara ijtihadiyyah yang masih diperselisihkan oleh para ulama Salafiyyun?! Apakah kita hendak membuang nikmat Allah yang sangat agung itu hanya karena perkara dunia atau permasalahan-permasalahan yang seharusnya kita bisa saling memahami?! Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang benar-benar merasakan nikmat persaudaraan, lalu bersyukur dan terus menjaga nikmat tersebut.
Syaikh ‘Abdul Malik ar-Ramadhani –penulis Madaarikun Nazhar fis Siyaasah, buku yang dipuji dan diberi pengantar oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia- pernah bercerita kepada kami, bahwa dia pernah ditelepon oleh salah seorang ikhwah dari Perancis. Saudara kita dari Perancis ini menangis di telepon sekitar setengah jam. Apakah yang dia tangisi? Dia menangis karena jengkel memikirkan saudara-saudaranya sesama salafi saling tahdzir dan saling hajr, meskipun jumlah mereka sedikit. Padahal mereka sedang hidup di tengah lautan orang-orang kafir. Dahulu, mereka tidak bermusuhan di atas kesesatan. Tetapi setelah mereka mengenal ajaran yang benar, lha kok malah berantem. Bukankah ini mengherankan?! Wallaahul musta’an. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari tipu daya syaitan yang menghendaki perpecahan di kalangan pengikut ajaran yang benar, yaitu barisan Ahlus Sunnah.
[3] Lihat penjelasan dari Syaikh Shalih Alu Syaikh dalam ceramah (tulisan) beliau yang berjudul Huquuq al-Ukhuwwah, sebagaimana yang akan disebutkan.
[4] Tafsir At-Thabari (X/36), Hilyatul Auliya’ (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubabah, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah ÷ dengan sanad yang marfu’, dalam Taariikh Waasith, pada biografi ‘Abdullah bin Sufyan Al-Wasithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawaahid-nya. Lihat: as-Shahiihah (V/10) hadits (2004).
[5] HR Al-Bukhari (13) dan Muslim (45)
[6] Lihat Majmu’ Fataawa (VII/14-19)
[7] Majmu’ Fataawa (VII/41)
[8] Jaami’ al-‘Ulum wal Hikam (I/304).
[9] HR Muslim (1844).
[10] Dalam Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh
[11] Jaami’ al-‘Ulum wal Hikam (I/306)
[12] Karena yang wajib dalam syari’at adalah ia menginginkan agar orang-orang seperti dirinya dalam kebaikan.
[13] Disarikan dari Jaami’ al-‘Ulum wal Hikam (I/309-310).
[14] Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hal. 164.
[15] HR Muslim (1844).
Hadits ini semakna dengan hadits Anas yang sedang kita bicarakan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rajab dalam Jaami’ al-‘Ulum (I/304)
[16] Faidah yang kami dapatkan guru kami, Syaikh ‘Abdurrazzaq –hafizhahullah-, tatkala menjelaskan hadits ke-18 dari al-Arba’iin an-Nawawiyyah.
[17] Lihat muqoddimah tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman terhadap risalah Adabul ‘Isyrah wa Dzikrus Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 5-6.
[18] Lihat Mawaaqif Iimaaniyyah, hal 469.
[19] HR Al-Bukhari (VII/317), kitab Manaaqib al-Anshar.
[20] Allahu Akbar! Beginilah keimanan para sahabat. Betapa besar kasih sayang di antara mereka. Kalau kita bandingkan dengan kita dizaman sekarang ini, sepertinya ini hanyalah mimpi yang tidak mungkin bisa terwujudkan. Saya pernah bertemu dengan beberapa orang ikhwah dari luar negeri yang sangat kenceng membantah para ahli bid’ah. Bahkan saking kenceng-nya, mereka menyatakan bahwa seorang ulama besar yang ada di Saudi sebagai ahli bid’ah. Padahal beliau yang dituduh itu sampai saat ini masih duduk di al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts wal Iftaa’ (Komite Tetap untuk Urusan Riset dan Fatwa). Meskipun demikian, ternyata tingkah laku mereka sehari-hari dalam mu’amalah masih jauh dari manhaj Salaf. Sampai-sampai untuk masalah makanan saja mereka tidak segan-segan mengambil jatah saudaranya, sebagaimana yang pernah penulis saksikan sendiri sewaktu acara makan bersama di tempat kediaman Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Apakah manhaj Salaf hanya terkait dengan membantah ahli bid’ah, tetapi untuk mu’amalah sehari-hari dengan saudaranya manhajnya ditinggalkan?! Jangankan mengorbankan istri yang paling dicintai, jatah makan saudaranya saja ia ambil.Wallaahul musta’aan.
[21] Beginilah jiwa para sahabat dari kaum Muhajirin. Kebaikan kaum Anshar tidaklah menjadikan mereka bergantung pada kaum Anshar. ‘Abdurrahman bin ‘Auf tetap berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
[22] HR Al-Bukhari (3780). lihat Al-Fath (7/142), kitab manaqib Al-Anshar
[23] HR Al-Bukhari (3798).
Lihat al-Fath (VII/151) dan ‘Umdatul Qori’ (XIII/341), kitab Maanaqib al-Anshar.
[24] Al-Muntzhom 4/123
[25] Sebagaimana dinukil oleh Ahmad Farid dalam kitabnya Mawaaqif Iimaaniyyah (hal. 443), dari kitab Ibnul Jauzi yang berjudul al-Hubb fillaah wa Huquuqul Ukhuwwah.
[26] Tafsiir Ibnu Katsir, surat al-Anfal: 63.